Refleksi Warisan Tradisi & Budaya di Yogyakarta. Text by Arya Suryawan
Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat atau dikenal dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) lahir pada tahun 1755, telah mewarisi mahakarya dari pendiri DIY yaitu Pangeran Mangkubumi yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono I berupa Sumbu Filosofi Yogyakarta yang pada tanggal 18 September 2023 telah disahkan sebagai warisan budaya dunia oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan atau UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) dalam sidangnya di kota Riyadh, Arab Saudi dengan tajuk lengkap The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks, kini tak hanya menjadi milik DIY dan Indonesia, tapi juga menjadi milik dunia.

Mengutip pernyataan KGPAA Sri Paduka Paku Alam X dalam sambutannya di sidang Komisi Warisan Dunia UNESCO mewakili Gubernur DIY, ia menegaskan bahwa hal ini merupakan penghargaan dunia yang luar biasa untuk keberadaan nilai-nilai budaya adiluhung Yogyakarta sebagai nilai keistimewaan, identitas dan jati diri Yogyakarta. Budaya Yogyakarta berkontribusi untuk merawat keberlangsungan kesejahteraan dunia.

Sumbu Filosofi dalam realitanya adalah konsep tata ruang berbentuk struktur jalan lurus yang membentang dari Panggung Krapyak di bagian selatan, Kraton Yogyakarta sebagai titik pusat sampai Tugu Yogyakarta di sebelah utara, adalah bagian tak terpisahkan dari konsep kosmologi Jawa yang melambangkan hubungan hakiki antara manusia dengan Tuhannya (Hablum-minaLlah), dengan sesama manusia (Hablum-minannas) dan juga dengan alam semesta – sebagai wujud hubungan yang harmonis serta bersinergi di antara dua kekuatan alam yang diwakili oleh gunung Merapi dan samudera Indonesia (Laut Kidul/Selatan), sebagai sumbu garis lurus imajiner.
Banyak aspek Sumbu Filosofi yang dapat ditampilkan. Tempat penulis tinggal, dusun Potrowangsan, yang terletak di utara, di kaki gunung Merapi di wilayah Kalurahan/Desa Candibinangun, Kapanewon/Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman – merupakan sebuah refleksi dan bagian tak terpisahkan dari Sumbu Filosofi Yogyakarta. Letaknya yang strategis dengan keindahan alaminya pada ketinggian 550 – 600 mdpl langsung berhadapan dengan kemegahan bukit Turgo, bukit Plawangan dan gunung Merapi secara bersama-sama menyatu dalam keharmonisan alam diselimuti oleh udara yang sejuk nan bersih bebas polusi, yang masih diiringi nyanyian indah burung-burung dan lantunan pujian alam sepanjang hari.
Selain keindahan alam pertanian, antropologi Potrowangsan dipetakan dalam warisan tradisi, seni dan budaya Jawa yang menjadi bagian penting dalam keseharian masyarakat dusun yang tetap dipertahankan dan dipraktikkan dari generasi ke generasi, misalnya gotong royong, kenduren (kenduri), ruwahan, nyadran/sadranan, merti bhumi, seni pentas tari, ketoprak, wayang kulit, jathilan (Kuda lumping) atau karawitan (Seni gamelan).

Keberagaman penganut agama di dusun juga menjadi tonggak kokoh, sebagai penopang utama kehidupan harmonis yang penuh dengan toleransi, rukun dan saling menghargai yang ditandai ikatan kekeluargaan yang erat di antara warga yang sebagian besarnya saat ini adalah keturunan langsung sosok pendiri dan para penghuni perdana dusun Potrowangsan.
Menurut seorang sesepuh dusun yang merupakan cicit dari pendiri Potrowangsan – diceritakan bahwa kakek buyutnya bernama Abdullah Mertosenjoyo lahir di daerah Tempel, tak diketahui tahun kelahirannya – adalah pelopor yang menetap di lokasi yang sekarang bernama Potrowangsan. Ia sebelumnya pernah menjadi santri di kampung Kauman Yogyakarta.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Abdullah Mertosenjoyo datang bersama istri dan dua orang santri setianya datang ke kaki Merapi untuk mencari lahan pertanian baru dan kemudian mereka bersama-sama menetap di sana. Dalam batu nisan makamnya tertulis wafat pada tahun 1918 di Potrowangsan.
Nama “Potrowangsan” sebagai nama dusun, asal-usulnya adalah pemberian Ki Mertosenjoyo. Tampaknya, nama tersebut terinspirasi dari wangsalan Kawi (Jawa Kuno): “Carang wreksa, wreksa wilis tanpa patra (potro)” secara harfiah diterjemahkan menjadi “Cabang pohon, pohon hijau tanpa daun”. Potro artinya daun. Kata wangsan mungkin maksudnya adalah wangsalan, namun pendapat lain memaknai kata itu berasal dari wangan/jugangan yang bermakna kolam (kedung) sumber mata air – di bawah pohon.
Sebelum adanya sumur air timba untuk kebutuhan rumah tangga, penduduknya masih memanfaatkan sumber-sumber mata air di Potrowangsan yang dikenal dengan nama Belik (mata air) Preh, Belik Cepit dan Pancuran Ori/Pring Ori (Bambu Berduri). Kesaksian seorang warga di masa kecilnya pernah ada pohon besar di dusun Potrowangsan seperti pohon beringin yang di bawahnya terdapat kolam kecil sumber mata air (Belik Preh). Tempat anak-anak bermain air dan mandi. Namun sejak tahun 1970-an, satu per satu sumber-sumber mata air itu mulai tertutup dan hilang karena di lokasinya telah beralih fungsi menjadi fondasi batu beton bagi area pemukiman, jalan atau bangunan baru.
Sebagai bagian dari nilai falsafah budaya Jawa yang luhur, jika bertanya apa itu wangsalan, maka dikatakan: Wangsalan yaiku unen-unen utawa tetembungan sing saemper karo cangkriman, nanging batangane wis dikandhakake (Wangsalan merupakan perkataan atau kalimat sejenis cangkriman, namun jawabannya sudah disebutkan). Hanya saja penyebutan jawabannya tidak jelas, samar-samar. Wangsalan termasuk jenis perumpamaan yang sering digunakan masyarakat Jawa dalam percakapan. Fungsi wangsalan dapat digunakan sebagai cangkriman (teka-teki; tebakan), sindiran atau nasihat. Wangsalan cocok dengan karakter orang Jawa yang tidak bisa atau tidak ingin menyampaikan sesuatu secara langsung atau lugas, dan wangsalan biasa digunakan di antara orang yang benar-benar memahami bahasa Jawa untuk otak-atik kata.
Kembali ke penamaan Potrowangsan yang lahir dari wangsalan: “Carang wreksa, wreksa wilis tanpa patra” pada akhirnya carang wreksa ditafsirkan sebagai pang (cabang pohon), kemudian wreksa wilis tanpa patra dimaknai sebagai kayu urip (kayu yang hidup). Kata kuncinya pang dan urip. Kata pang menjelma menjadi gampang, dan urip tetap sebagai urip, sehingga secara utuh wangsalan ini dimaknai sebagai “Ora gampang wong urip ing ngalam donya” (Tidak mudah orang hidup di dunia). Hidup yang tidak mudah di dunia ini terefleksi pada kehidupan penuh lika-liku dan perjuangan berat Ki Mertosenjoyo sekeluarga beserta santri setianya yang menjadi pelopor pembuka lahan dan pertanian di area baru yang kemudian diberi nama Potrowangsan.

Hari ini dusun Potrowangsan telah menjadi bumi yang makmur dengan infrastruktur yang baik dan sarana pertanian yang semakin tumbuh berkembang. Tidak lagi menjadi dusun yang tertinggal dan miskin. Semua warga dusun tetap semangat untuk menghadapi era serta rintangan baru di masa depan. Sebagaimana rintangan serta perjuangan yang dihadapi oleh Ki Mertosenjoyo lebih dari seabad silam.

Kisah dusun kecil itu dapat menjadi penyemangat bagi kita semua betapa pentingnya nilai-nilai kebhinnekaan serta kearifan lokal jika dapat dimaknai pada tempatnya dengan sewajarnya.
Mugya rahayu sagung dumadi.

