“Di Yogya aku tidak hanya menemukan diri dan ketenangan, tapi juga mengubah mindset konsumtif menjadi produktif. Berbekal memori tentang nenek dan ibu yang akrab dengan kebaya dan wastra, Yogya juga memberi aku ruang untuk berkarya serta menawarkan kebaya dalam warna dan rasa yang berbeda.”
Text by Debbie S. Suryawan
Wanita berambut ikal bernama Lila Imeldasari ini identik dengan Lemari Lila, jenama yang ia bangun sejak 2010. Berbagai koleksi Lemari Lila, yang lahir dan berkembang di Yogyakarta, sudah sangat akrab di kalangan penyuka gaya etnik dan unik.
Menariknya, Lila ini tidak pernah bermimpi menjadi desainer. Justru ketika kecil, ia membayangkan dirinya menjadi seorang dokter anak. “Dulu cita-citaku menjadi dokter anak. Walaupun kemudian (cita-citaku) berubah, ingin jadi penyanyi karena aku ngefans berat dengan Indra Lesmana dan Titi DJ, aku tidak pernah bermimpi jadi desainer,” urai wanita bergelar Sarjana Hukum. “Padahal dulu aku hanya berkhayal, ‘Asik juga, nih, kalau punya butik!’, karena aku senang membaca rubrik Claudia’s Closet dari majalah Seventeen,” lanjutnya diiringi tawa.
Menjadi desainer dan memiliki jenama berkarakter unik memang bukan mimpi Lila, namun ia membangun Lemari Lila dengan sepenuh hati. Dan semua bermula di Yogyakarta.
Dari Banker Menjadi Facilitator
Sejak kecil Lila sering berpindah-pindah kota mengikuti tugas sang ayah yang bekerja di Bank Indonesia. Namun sejak SMP ia lebih banyak menetap di Jakarta. Apalagi sejak lulus kuliah Lila langsung bekerja di sebuah bank swasta di Ibu Kota.

“Pada suatu hari, temanku, Lisa Samadikun, menginformasikan bahwa Miles Film sedang mencari publicist untuk film Rumah Ketujuh. Kebetulan aku juga sudah jenuh bekerja di bank. Akhirnya aku resign dari pekerjaan sebagai analyst credit card dan bergabung dengan Miles.”

Ketika mengikuti Riri Riza yang sedang membuat proyek film pendek di Banda Aceh pasca tsunami, , Lila berkenalan dengan Cicilia Maharani dan Dian Herdiany dari Yayasan Kampung Halaman. Tak lama setelah itu, ia diinformasikan bahwa mereka akan pindah ke Yogya dan sedang mencari facilitator untuk Yayasan Kampung Halaman. “Singkat cerita, akhirnya aku bergabung, menjadi facilitator, dan ikut pindah ke Yogyakarta. Itu sekitar satu tahun pasca gempa, tahun 2007,” papar alumni Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Jakarta.
Jatuh Cinta pada Pasar Beringharjo
Lila senang sekali tinggal di Yogya. Bersama teman-teman sekantor, ia suka bersepeda keliling Kota Yogya. “Kebayang, kan, anak Jakarta senang sekali pindah ke Yogya. Bareng teman-teman, kami bersepeda keliling Kota Yogya dengan busana awul-awul. Itu loh, baju bekas gaya vintage,” jelasnya.

Setelah itu, nyaris setiap hari Lila berkunjung ke Pasar Beringharjo, terutama ketika jam makan siang. Ia bahkan pernah dimarahi karena telat datang ke meeting akibat terlalu asik di pasar.

“Setiap jam makan siang aku ngelayap ke (Pasar) Beringharjo. Aku betah sekali di sana, ngobrol dan berinteraksi dengan mbok-mbok yang jualan kain dan kebaya. Saat itu, kebanyakan dari mereka masih berkain dan berkebaya. Di sana aku seperti menemukan hidupku,” urai Lila yang bertemu dengan suami, Abu Juniarenta, saat ia masih bekerja di Miles dan sedang shooting film Tiga Hari untuk Selama.
Kebaya dan Hobi Permak Baju
Kegemaran Lila pada busana, terutama kebaya dan wastra Indonesia, bukan tanpa alasan. Sejak kecil ia memang sudah akrab dengan kebaya.

“Setiap keluar rumah, nenek dari pihak ibu selalu berkebaya panjang yang dipadankan dengan songket atau batik. Ibuku yang bermarga Lubis juga selalu berkebaya, lengkap dengan selendang, stagen, dan sanggul. Jadi, sejak kecil aku sudah akrab dengan kain dan kebaya,” imbuh Lila yang ayahnya ternyata asli Yogyakarta namun lahir di Purwokerto.

Sejak SMP Lila juga senang merombak atau memermak baju. “Aku dan ibuku sama-sama ‘gila’ baju. Bedanya, ibuku bisa dan senang menjahit. Sedangkan aku kurang suka menjahit karena tidak sabaran, tapi senang sekali permak baju,” ujar wanita kelahiran 10 Agustus sambil tertawa.
Bereksperimen dengan Batik
Sahabat Lila, Arriany Simanjuntak, kebetulan punya butik di ITC Kuningan. Ketika Lila mulai bereksperimen merombak baju dari batik lawasan, kepada Arriany lah ia menitipkan karyanya.

“Aku mulai eksperimen permak baju dari batik lawasan. Aku kasih furing dan renda atau dipadukan dengan batik lain. Baju itu kemudian aku titipkan ke Kakak, panggilan Arriany. Eh, ternyata laku. Dari situlah aku mulai bikin (baju) lagi. Tapi saat itu aku belum mendesain, hanya memodifikasi,” urai Lila yang mengaku bahwa Aririany adalah salah satu sosok yang berjasa dalam perkembangan Lemari Lila.

Lila kemudian mulai berkreasi membuat baju gaya vintage yang terinspirasi dari baju awul-awul miliknya menggunakan kain batik. “Meski saat itu belum bisa membedakan batik tulis, cap, atau print, tapi aku senang berkreasi dengan batik. Ternyata ketika aku masukkan koleksi tersebut di Friendster, eh, ada yang tanya-tanya. Akhirnya ketika kontrak kerjaku di Yayasan Kampung Halaman habis, aku putuskan untuk tidak memperpanjang dan mau fokus bikin baju saja,” kenang Lila.
Mimpi yang Terwujud
Sekitar tahun 2011, Lila yang saat itu sudah menikah dengan Abu, diajak untuk mengikuti bazar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Ketika bazar, banyak pelanggan Lemari Lila datang dan bertanya apakah Lemari Lila ada toko di Yogya.

Pertanyaan itu menyadarkan Lila bahwa mungkin sudah seharusnya Lemari Lila punya toko. Namun ia masih ragu. “Kalau punya toko artinya harus punya koleksi yang ready, punya karyawan, dan sebagainya. Kebetulan waktu itu aku juga sudah punya Aksan,” papar ibu dari Aksan Rana Bumi.

Kedatangan Tara Basro dan Dian Nitami secara khusus ke rumah untuk membeli koleksi Lemari Lila, membulatkan tekad Lila untuk memiliki toko offline. Akhirnya pada 2014, sebuah ruangan berukuran 2×7 meter yang berlokasi di Jalan DI Panjaitan, menjadi toko pertama Lemari Lila. Mimpi Lila untuk mempunyai butik terwujud sudah. “Waktu itu dari hulu ke hilir, semua aku kerjakan sendiri. Cari bahan, bikin konsep, ke tukang jahit, quality control, marketing, urus pesanan, sampai jaga toko. Benar-benar one man show karena saat itu Abu masih bekerja,” urai Lila yang ketika itu memasarkan Lemari Lila hanya melalui Friendster dan kemudian Facebook.

Walau harus berpindah lokasi hingga 4 kali, sekarang butik Lemari Lila telah menempati ruang yang jauh lebih lapang dan nyaman di kawasan Bantul. “Semoga kelak bisa punya butik di tempat sendiri, tidak menyewa lagi,” ujarnya berharap.
Ayam, Mbok Jum, dan Batik Bantul
Salah satu kenalan Lila, Rona Narendra, adalah seniman yang membuat cangkir enamel bergambar mbok-mbok bersanggul. Ternyata itu adalah karakter yang selalu Lila khayalkan. Sehingga lahirlah batik cap motif Mbok Jum yang gambarnya dibuat oleh Rona. “Motif ini terinspirasi dari mbok-mbok bakul gendong berkebaya kutubaru. Mbok Jumiyen namanya. Aku kenal beliau ketika sering nongkrong di Pasar Beringharjo,” jelas Lila yang sejak kecil selalu senang pada boneka perempuan.

Semakin banyaknya pelanggan pria yang datang ke butik memicu Lila untuk menghadirkan motif Pak No, yang diambil dari nama suami Bu Atun, penjahit Lemari Lila yang sudah bekerjasama sejak awal. Ada juga motif Margiyo dan Marginah. Semua motif tersebut digambar oleh Rona.

Tapi jauh sebelum mengeluarkan motif Mbok Jum, Lemari Lila sudah memproduksi batik cap motif ayam. Gambar motif unggas ini dibuat oleh Nadiyah Tunnikmah, sahabat Lila yang juga dosen di ISI Yogyakarta. Motif ini juga masih terus digunakan dan menjadi trademark Lemari Lila. Selain itu Lila juga mengolah Batik Bantul yang coraknya kontemporer namun prosesnya masih tradisional.
Membawa Misi
Lemari Lila kian dikenal karena konsistensi menghadirkan koleksi dengan sentuhan tradisional. Jenama ini juga lahir di saat yang tepat, yakni ketika masyarakat kembali rindu dan mulai mencari kebaya. Meski kebaya yang ditawarkan bergaya unik, misalnya panjangnya asimetris, tapi itulah daya tarik Lemari Lila: nyeleneh, loose, kasual, dan cocok untuk dipakai sehari-hari.

Lila juga mempunyai misi untuk perempuan Indonesia. “Jangan hanya melihat kebaya sebagai pakem, tapi sebagai kata benda yang bisa berdiri sendiri. Karena itulah aku membuat kebaya yang bisa menjadi bagian dari busana sehari-hari. Misalnya naik motor tidak pakai jaket, tapi kebaya sebagai outer. Jadi unik, kan? Karena tidak ada yang aneh dengan berkebaya setiap hari,” tegas wanita yang membuat hastag #kebayakangayamu.
Mengusung tagline “traditional meets modern clothing” Lemari Lila memang berupaya untuk mengolah kain tradisional dengan sentuhan modern atau sebaliknya, mentradisionalkan kain atau tekstil modern melalui pola atau busana yang tetap meneruskan tradisi, seperti kebaya.

Karena selalu ‘menanamkan’ misi pada setiap karyanya, seorang fotografer kenamaan, Anton Ismael, tertarik setelah melihat koleksi Lemari Lila. “Ia kemudian menghubungi aku dan menawarkan untuk membuat foto. ‘Saya melihat Mbak Lila ingin menyampaikan sesuatu dengan santai dan tidak teriak-teriak, rebellious in silence.’ Begitu kata Mas Anton,” papar Lila sambil memperlihatkan beberapa jepretan sang fotografer yang berjudul Wis Tau, Ra Urusan, dan Stel Kendo.
Terus Tumbuh dan Berkembang
Lila tidak pernah berhenti berupaya untuk mengembangkan Lemari Lila, termasuk menjadikannya sebagai one stop shopping destination. “Karena aku konsumtif dan suka dengan produk-produk unik, akhirnya aku ajak teman-teman untuk menitipkan produknya dengan sistem konsinyasi. Produk ini dinamai Teman Lemari Lila, karena selain harus etnik dan otentik, juga harus cocok dengan koleksi Lemari Lila. Aku sendiri yang seleksi dan kurasi. Alhamdulillah sampai sekarang semua berjalan baik dan tumbuh bersama,” urai Lila yang pernah menjadi desainer kostum untuk pertunjukkan City of Darkness yang dibawakan Theater Ash pada 2018.

Lila juga sangat menjaga hubungan dengan pihak-pihak yang sudah menemani Lemari Lila sejak awal. Selain 3 tim penjahit yang sudah membantu sejak awal, ia juga sangat menjaga azas kepercayaan bersama Rona dan Nadiyah yang menggambar motif untuk batik cap khas Lemari Lila. Karyawan Lemari Lila yang berjumlah total 8 orang perempuan juga terus ia bina agar berkembang.
“Aku ingin semua karyawan punya skill agar bisa gantian ikut pameran. Mereka tidak boleh hanya di Yogya saja. Mereka harus ke Jakarta dan tempat-tempat lain agar lebih ‘melek’ melihat perkembangan fashion. Karenanya, aku sudah menyerahkan beberapa tanggung jawab pekerjaan kepada tim yang tepat, yang sudah paham betul cara kerja dan konsep Lemari Lila.”

Sekarang Lila lebih fokus pada desain maupun hal lain yang bertujuan untuk keberlangsungan Lemari Lila, di antaranya mengikuti Jogja Fashion Dunia, program yang diinisiasi oleh Deperindag. Dalam program ini, Lila bersama teman-teman yang bergerak di bidang craft fashion di Yogyakarta akan dibina dan mendapat pelatihan dari perancang Ali Charisma, Dina Midiani, dan Taruna Kusmayadi.

Sebagai desainer indie, tentu ada perlawanan di dalam diri sebelum mengikuti program tersebut. Namun akhirnya Lila memutuskan ikut dan mengambil manfaatnya untuk Lemari Lila. “Sekarang aku harus berpikir sesuai kebutuhan pelanggan. Termasuk harus punya koleksi, harus bikin seri dalam setiap koleksi, harus memainkan warna, harus menata toko agar menarik, dan juga sebagaimana pesan Mbak Dina (Midiani), harus membuat satu koleksi terus menerus sampai ketika orang melihat itu maka dia akan ingat pada Lemari Lila. Karena itulah aku tidak akan berhenti membuat kain lilit dan kebaya, tentu dengan gaya khas Lemari Lila,” tegasnya menutup obrolan.
Lemari Lila – Traditional Meets Modern Clothing
Jalan Kasongan Raya No 71, Bantul, Yogyakarta
Jam Operasional: Senin – Minggu, pk. 09.00 – 19.00
Telp 081325942526/081380020016
Email: www.lemarilila.com
Instagram: lemarilila (https://www.instagram.com/lemarilila?igsh=ejBtYzU5enoxazlj)

