Text by Muhammad Arya Suryawan
Pemilu Indonesia 2024 baru saja usai. Kita telah memilih para pemimpin baru dan wakil rakyat untuk 5 tahun mendatang. Tak banyak berharap mereka kelak menjadi pemimpin yang adil sempurna berakhlak mulia, namun paling tidak dapat menjadi model pemimpin yang ideal sebagai refleksi dari warisan nilai-nilai filsafat dan budaya kepemimpinan di Nusantara yang pernah ada di masa lalu.
Warisan filsafat dan budaya itu salah satunya dikompilasi dalam Serat Tajusalatin. Dahulu serat ini menjadi rujukan panduan budi pekerti, moral, norma dan etika – dan tampaknya masih relevan bagi masyarakat muslim di bumi Indonesia tercinta, namun kini tak lagi digemari dan tak banyak yang membacanya seperti dulu. Meski tak lagi populer, mari kita lihat sekilas bagaimana istimewanya warisan bernilai sastra, filsafat dan budaya itu.
Sebuah judul kitab yang berasal dari bahasa Persia. Taj (Mahkota) dan Salatin (Bentuk jamak dari Sultan). Mahkota Para Sultan atau Mahkota Raja-Raja, berisi naskah teks hakikat manusia, uraian budi pekerti serta kewajiban-kewajiban dan tata cara yang harus dilakukan para pemimpin (Sultan/Raja, Hulubalang, Menteri) dan rakyat, terutama mengenai kewajiban tiap muslim kepada Allah.

Kitab Tajusalatin merupakan karya bernafaskan ajaran, teologi, hukum dan sejarah Islam, yang aslinya berbahasa Persia disadur oleh Bukhari al-Jauhari pada tahun 1603 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu di Aceh, dikenal sebagai Mahkota Segala Raja-Raja. Dari pulau Sumatera kemudian tersebar hingga ke pulau Jawa, semakin berkembang dan populer di keraton-keraton dan pondok pesantren sebagai karya sastra yang digauli pada masanya. Disadur pertama kalinya ke dalam bahasa Jawa pada tahun 1726 oleh seorang pujangga Surakarta – R. Ng. Yasadipura I dengan judul Serat Tajusalatin.
Tajusalatin juga diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Belanda di Batavia pada tahun 1827 oleh P.P. Roorda van Eijsinga dengan judul De Kroon aller Koningen van Bochari van Johor – dan ke dalam bahasa Perancis pada tahun 1878 di Paris oleh Aristide Marre dengan judul Makota Radja-Radja ou la Couronne des Rois par Bochari de Djohore.
Kitab Tajusalatin mengambil acuan dari Quran dan Hadis, menguraikan akhlak (budi pekerti), hukum, azab dan kisah-kisah teladan para nabi, khulafa rasyidin, para raja dan alim-ulama di masa lampau.
Terdapat banyak variasi dari naskah Tajusalatin di Nusantara. Selain di Keraton Yogyakarta, Musium Sonobudoyo dan Perpustakaan Nasional, di Pura Pakualaman Yogyakarta terdapat enam naskah lengkap Tajusalatin, ada enam kode koleksi: St 94, St 95, St 97, St 98 dan St 99.
Rujukan tulisan ini mengambil dari buku berjudul “Tajusalatin Naskah Kuna dari Pura Pakualaman” terbitan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta 2017 yang merupakan transliterasi dari naskah koleksi dengan kode St 95, dinamai Ki Sarahmadu Brajamakutha (KSB) – berukuran 24 x 36 cm, 612 halaman, berhuruf dan berbahasa Jawa yang diselingi bahasa Arab. Naskah KSB ini disusun selama 1 tahun, 17 Mei 1832 – 18 Juni 1833 dengan tempat penulisannya di bangsal Sawarengga Pura Pakualaman. Tidak diketahui nama penyalinnya, tapi jelas ditulis di masa Paku Alam II bertahta (1830 – 1858). Naskah Tajusalatin ini berbentuk sekar macapat dan sekar tengahan.
Isi KSB terdiri dari 3 bagian naskah:
1. Tajusalatin dari Bukhari al-Jauhari berisi 24 pasal.
2. Hikayat Nawawi merupakan kisah yang memuat tentang Sultan Ibrahim ibnu Adham dari Balk/Bulkiyah (sekarang di wilayah Afghanistan) yang mengembara ke Syiria dan hidup sebagai seorang sufi. Teks Nawawi ini berisi penjelasan dan uraian tentang ajaran agama Islam yang tertuang dalam kisah raja-raja dengan latar dari Timur Tengah. Selain itu, Hikayat Nawawi ini kemungkinan mengambil kutipan dari sebagian kitab Bustanus-Salatin (Taman Para Sultan/Raja) tulisan Ar-Raniri.
3. Ajaran Paku Alam I diriwayatkan oleh Paku Alam II, berisi tentang ajaran-ajaran bagi istri, laki-laki dan nasihat tentang mempertimbangkan segala sesuatu.
Secara umum, kisah-kisah yang ada dalam naskah KSB selalu berhubungan dengan cerita raja dan memuat nasihat-nasihat yang bisa diambil dari kisah-kisah tersebut.
Keunikan naskah KSB adalah ditulis dengan aksara Jawa dan berbahasa Jawa berpadu dengan aksara Jawa berbahasa Arab, akibatnya kutipan Quran, Hadis dan istilah bahasa Arab mengalami perubahan, di antaranya terdapat perubahan bunyi, pemendekan suku kata, penyisipan kata dan pemanjangan suku kata. Misalnya teks yang dianggap sebagai Hadis: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya) berubah menjadi Man ngaropfanafsa ugil fankad ngarafa Rabbuhu, gil bakh a punika. Demikian pula contoh istilah bahasa Arab ‘alaikum berubah menjadi ngalekum.

Tulisan yang mengandung kosa kata bahasa Arab ditandai dengan tinta merah, yang mengandung nama tokoh dibubuhi tinta merah di atas tinta hitam. Terdapat rubrikasi, yaitu tulisan aksara Jawa dengan tinta merah pada kata atau kalimat yang dianggap penting, ditandai dengan torehan pada margin kiri atau kanan halaman naskah maupun di sela teks. Kesatuan rubrikasi diberi bingkai dan sisi luar bingkai ditandai hiasan berupa daun, bunga atau bentuk lain yang disesuaikan dengan konteksnya.
Tandha Jeng Rasul Undhang Guru (Bagi yang tak mengetahui jumlah malaikat di dalam badan adalah orang yang bodoh, maka Kanjeng Rasul mengajak manusia untuk selalu belajar).
Demikian sekilas tentang Tajusalatin, naskah kuno dari Pura Pakualaman Yogyakarta.

