Cita rasa dan bahan baku yang lokal, membuat aneka klethikan selalu layak dijadikan buah tangan.

Sebagai orang Indonesia asli, ngemil adalah kebiasaan untuk melengkapi empat sehat dan lima sempurna. Jenis camilannya sangatlah beragam, mulai dari kue basah atau populer dengan istilah jajan pasar, hidangan yang harus disantap dengan santan dan gula aren seperti kolak, sampai camilan kering berupa kripik, krupuk, kacang goreng, kue kering, atau sebagainya. Kebanyakan masyarakat Yogyakarta dan kawasan Jawa Tengah biasa menyebut camilan kering dengan nama klethikan.
Saya pribadi memang gemar mengemil klethikan sejenis kripik dan krupuk. Gurih, asin, atau manis, tidak masalah! Yang penting ketika pikiran sibuk memikirkan rangkaian kalimat dan jemari sibuk mengetik, mulut saya ikut sibuk mengunyah. Bahkan aktivitas menonton serial terbaru di layar kaca pun terasa lebih seru jika ditemani klethikan.
Sejak lebih sering menetap di Yogyakarta, kebiasaan saya membeli klethikan produksi pabrik-pabrik besar yang mudah ditemui di berbagai jaringan supermarket atau convenient store, berkurang banyak. Bukan karena lokasi rumah saya yang berada di tengah Dusun Potrowangsan jauh dari toko-toko tersebut, tetapi karena klethikan di Pasar Pakem jauh lebih menggelitik!

Setidaknya seminggu sekali saya berkunjung ke pasar yang jaraknya hanya sekitar 5km dari Omah Kepel. Selain membeli aneka klethikan untuk suguhan para tamu yang menginap, tentu saja saya juga membeli untuk dinikmati sendiri. Sambil menunggu beragam kripik dan krupuk ditimbang secara manual, saya mengobrol dengan sang penjual tentang asal berbagai klethikan produksi UMKM ini.
Dari si penjual saya mendapat info tentang kripik entik yang terbuat dari lompong –tumbuhan sejenis talas, lanting berbumbu ketumbar, kue sagu panggang yang biasa disembut emprit, kripik tempe gembus, kripik pisang bercita rasa nangka, camilan dari parutan ubi ungu berbalur gula aren yang disebut grubi, slondoh bawang yang khas Yogya, hingga kripik pare yang rasa getirnya berpadu harmonis dengan gurihnya baluran tepung goreng yang renyah. Dari toko ini juga saya bertemu kembali dengan beberapa jenis klethikan yang dulu sering saya nikmati ketika masih kecil. Di antaranya adalah biskuit wijen, kue kancing yakni biskuit mungil berhias gula-gula aneka warna pelangi, hingga kripik sukun dan gadung yang kian langka.
Harus diakui bahwa saya memang lebih menikmati klethikan Nusantara dibanding yang bergaya “kebarat-baratan”. Mungkin karena cita rasa klethikan lokal lebih sesuai dengan lidah saya yang seleranya sangat Indonesia banget ini. Apalagi bahan bakunya juga sangat beragam, mulai dari umbi-umbian, sayur-sayuran, hingga aneka buah, walaupun banyak juga yang terbuat dari tepung. Disempurnakan dengan sound effect yang dihasilkan, kerenyahan klethikan lokal memang tak ada duanya. Pantas saja jika klethikan lokal dijadikan oleh-oleh khas dari berbagai daerah di Indonesia.
Bagi saya, klethikan bukan sekadar comfort food yang renyah dan asik dinikmati setiap saat. Ada cerita dan juga nostalgia di dalamnya yang membuat camilan ringan dan renyah ini layak untuk dijadikan teman dalam berbagai kesempatan.
