
“In observation, we find the seeds of creativity.” -Anynomous
Terpampang di salah satu dinding Pendhapa Art Space, karya Widi S. Martohihardjo, bisa dikatakan lantang bersuara. Mengisi hampir sebagian dinding dalam semburat merah menjadi rona yang mendominasi dan mengundang siapa saja untuk melihat karya ini dengan lebih dekat. Mengusung judul “Raja Tanpa Tahta”, mata pun menelusuri lukisan abstrak ini sambil mempertanyakan, ‘siapakah gerangan sosok dalam lukisan ini?’.
Widi merupakan salah satu perupa yang berpartisipasi dalam kegiatan bertema “78 Wajah Indonesia – Citra Jiwa Nusantara” yang diadakan oleh Dewan Mahasiswa Justicia Universitas Gajah Mada pada tanggal 10 hingga 13 November silam. Ia diminta oleh panitia untuk turut mengisi pameran karena karyanya dinilai mewakili tema yang diangkat. Pada kesempatan yang sama, di tengah hiruk pikuk pembukaan acara, Widi yang identik dengan rambut panjang ikal dan topi fedora hitam, dengan suka hati meluangkan waktu untuk memaparkan cerita di balik karyanya.

“Ini adalah lukisan ke-18 dari sekitar 20 lukisan tentang Raden Saleh yang saya buat,” ujarnya membuka obrolan. Ketertarikan Widi melukis perupa yang dianggap sebagai pioner seni modern Indonesia ini bermula dari ajakan kolaborasi dari dua orang penulis, Iksana Banu dan Kurnia Effendi. Pada awal 2020, mereka berdua meluncurkan novel berlatar sejarah berjudul “Pangeran dari Timur” yang tidak hanya memaparkan pergolakan zaman meraih kemerdekaan, tapi juga kisah tentang Raden Saleh Syarif Bustaman, pelukis yang begitu kesohor di Eropa pada pertengahan abad 19.

“Ini adalah project collaboration, di mana saya membaca atau mendengar mereka membacakan novel, lalu saya mencerap cerita dan menerjemahkan kisah yang secara spontan saya interpretasikan di atas kanvas,” papar pemilik Serambut Widi Studio.
Menariknya setelah kolaborasi usai, Widi justru merasa ada panggilan yang lebih dalam untuk bisa memahami Raden Saleh tidak hanya dengan membaca atau mendengar cerita tentang beliau atau melihat karya-karyanya saja.
“Saya harus masuk lebih dalam lagi untuk bisa mengenal dia,” tegas Widi. Hingga akhirnya Widi melakukan perjalanan demi memahami lebih dekat pelukis beraliran romantisme ini. Makam, rumah masa kecil, daerah yang pernah dikunjungi atau ditempati oleh Raden Saleh, satu-satu ia kunjungi. Bahkan Widi kerap membiarkan dirinya merenung dan meresapi bagaimana dan seperti apa kehidupan Raden Saleh di masa lalu. “Seperti apa udara yang ia hirup, makanan yang ia makan, lingkungan tempat ia hidup, dan sebagainya,” imbuh Widi.

Di mata Widi, Raden Saleh adalah raja tanpa tahta, sebagaimana judul karya yang ia pamerkan hari itu. “Inilah ironisnya. Ia begitu besar di Eropa, tapi ia tidak dikenal di tanah kelahirannya. Ia seorang Jawa, tapi ia seperti tercerabut dari akarnya.” Dan dengan mengenal sosok tersebut dengan lebih dalam, Widi pun merasa bisa lebih mampu memahami Raden Saleh. “Saya berusaha mencerap semua tentang Raden Saleh secara menyeluruh. Saya juga berusaha memahami dirinya dari berbagai sudut: sebagai sesama seniman, sebagai observer yang mencari jejaknya -termasuk dengan berkarya di bekas rumah Raden Saleh di Cikini, dan memahami yang tersirat dari karya-karyanya,” urai Widi yang menyimpan hasrat untuk melakukan napak tilas perjalanan Raden Salen di Eropa, di antaranya ke Amsterdam, Austria, Belgia, dan kota Maxen di Jerman, tempat di mana hari kelahiran Raden Saleh yang ke-210 pada 2021 lalu diperingati di sana.

Menurut Widi, apa yang ia lakukan adalah upaya untuk memahami Raden Saleh lewat kekaryaan -yakni pendekatan artistik, lewat rekam jejak -yakni pendekatan, pemahaman, dan pengamatan, serta lewat suasana kebatinan -memahami rasa dan emosi yang ada di dalam diri sang perupa besar tersebut. Sehingga ia bisa berkarya dengan membawa rasa dan inspirasi Sang Maestro. Mungkin memang begitulah seni. Di mana untuk bisa melahirkan sebuah karya, maka tubuh, pikiran, dan jiwa harus bisa bersatu sambil menajamkan seluruh sensori di dalam diri untuk menangkap pesan-pesan yang akan disampaikan sebagai wujud ekspresi sang seniman.

