“Perjalanan adalah bagian dari pengalaman. Sebuah ekspresi untuk mengenal sebuah budaya, termasuk menikmati pasar tradisional yang selalu menawarkan cerita dan pengalaman yang berbeda, di mana pun berada.”
Text by Debbie S. Suryawan

Pasar tradisional selalu punya tempat di hati saya. Kemana pun bepergian, saya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke pasar tradisional. Karena di pasar, ada begitu banyak hal tercermin dalam sebuah masyarakat, mulai dari sosial, tradisi dan budaya, kuliner, hingga keunikan bahan-bahan lokal yang mungkin hanya ada di sini.

Berada di jantung kota, Pasar Ngasem berlokasi di pertigaan antara Jalan Ngasem dan Jalan Polowijan. Sebagaimana pasar tradisional lainnya, berbagai kebutuhan sehari-hari bisa dengan mudah ditemukan di sini, bersamaan dengan berbagai hasil panen berupa sayur dan buah lokal. Namun area kuliner pasar ini memang lebih besar dan terkonsentrasi. Tak heran jika belakangan Pasar Ngasem menjadi salah satu tujuan wisata kuliner Kota Yogyakarta.

Memasuki gerbang utama Pasar Ngasem, sepasang pengamen yang duduk di sisi kiri sudah siap menyambut. Patung berukuran sedang berwujud Mbok Jamu berkebaya corak kembang dengan kain gendongan, berdiri sekitar 20 meter dari pintu gerbang. Kesibukan pasar di pagi itu sudah terlihat dari jalan raya. Sederet becak dan bentor, parkir berjajar di sisi jalan, setia menunggu calon penumpang yang datang dari berbagai sudut Kota Yogyakarta.

Jika tujuan utamanya adalah wisata kuliner, maka dari gerbang langsung saja berbelok ke kiri. Tapi hari itu saya sengaja berbelok ke kanan terlebih dahulu. Deretan penjual sayur dan buah, dengan barisan pisang yang montok, mewarnai sebagian area ini. Di dekatnya, berbagai toko yang menjual pekakas rumah, seperti sapu lidi, sapu ijuk, pengki, tampah dan kipas dari anyamanan bambu, sampai tas belanja yang dibuat dari bekas karung tepung, ada di sana. Ada juga penjual buah yang melengkapi dagangannya dengan berbagai pisau dapur.

Di salah satu sudut yang menghadap ke jalan raya, beberapa sepeda bersandar di depan kios yang tertutup rapat dengan jajaran papan kayu warna biru. Di depan kios yang menjual sembako dan aneka bumbu dapur instan, beberapa sangkar burung tergantung rapi. Sebagian burung terlihat terlelap, sementara beberapa lainnya sibuk bernyanyi. Kadang suara mereka terdengar jelas, karena area ini cukup sepi. Tapi terkadang suara mereka menghilang tertelan hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang di jalan raya.

Puas mengelilingi area ini, saya lanjutkan niat untuk berwisata kuliner. Sebelum menyebrang ke area kuliner, seorang penjahit tampak tekun melakukan tugasnya ditemani sebuah mesin jahit tua. Spanduk hijau bertuliskan Murny Permax, menjadi satu-satunya dekorasi di kios terbuka ini. Saya yakin penjahit ini banyak pelanggannya, karena dialah satu-satunya penjahit di Pasar Ngasem.

Memasuki area kuliner yang berada di sisi kiri gerbang utama, berbagai kios yang menjual pastel, kroket, risoles, klepon, kue lapis, dadar gulung, dan bahkan sate telur puyuh, langsung menyambut. Di seberangnya, seorang perempuan berkerudung menawarkan buntil daun singkong, tempe tahu bacem, lodeh, gudeg nangka, dan banyak lagi. Semua lauk tersebut sudah terbungkus dalam plastik bening. Ada juga jadah yang masih terbungkus daun pisang. Agak ke dalam, penjual aneka kripik menawarkan slondok udang, lanting, kripik pisang, kripik talas, tempe sagu, makaroni goreng, dan aneka kerupul. Ah, jika tak kuat hati, pasti semua dagangan itu sudah saya beli!

Makin ke dalam, keriuhan pembeli semakin nyata. Penjual kedai yang posisinya bersebelahan, berlomba menawarkan hidangan prasmanan yang sudah tertata rapi kepada mereka yang lalu lalang. Setidaknya ada 15 lauk dalam wadah gerabah dan stainless steel tertata di sini. Kali ini saya tak kuat hati, jadi langsung saja saya mengambil piring, menyendok nasi putih panas serta beberapa jenis lauk yang tampilannya sungguh membuat perut bersiul.

Tak perlu bingung mencari tempat bersantap karena pengunjung bisa duduk santai di atas tikar yang sudah digelar atau duduk di taman, di mana sudah tersedia area duduk dengan meja berbentuk lingkaran. Pagi itu matahari cukup bersahabat, sehingga saya putuskan untuk duduk di luar. Puas menyantap, saya lanjutkan wisata kuliner untuk mencari makanan penutup.

Kebetulan tidak jauh dari kedai hidangan prasmanan, terdapat penjual wingko dan bapia. Yang menarik dari kios ini adalah dua makanan khas ini dibuat langsung di depan para pembeli. Dua orang lelaki tampak sibuk membalik-balik wingko dan bapia. Sementara seorang perempuan bersiaga membantu mengemas pesanan pembeli dan mengurus pembayaran.
Saya sengaja memesan wingko dan bapia yang baru diangkat dari wajah ceper dari besi. Segera setelah membayar, saya nikmati wingko hangat. Ternyata sensasinya lebih asik dibandingkan wingko yang biasa saya makan. Bagian luarnya renyah, sementara bagian dalamnya lembut dengan tekstur kelapa yang kuat. Bapianya pun lezat. Kulitnya lembut namun cukup renyah dan hangat.

Rasanya mata saya sudah cukup dimanjakan dengan berbagai pengalaman di Pasar Ngasem. Perut saya juga sudah penuh dengan beragam hidangan khas masakan rumah. Sambil berjalan menuju gerbang utama, melewati lorong yang sepi pembeli namun menawarkan semangat penjual yang terus tersenyum menawarkan dagangannya, saya sempatkan untuk membeli apem dan sukun goreng tepung yang baru diangkat dari wajan berisi minyak yang sudah mulai menghitam warnanya.

Perjalanan, pengalaman, dan petualangan di pasar tradisional memang selalu berkesan. Termasuk blusukan di Pasar Ngasem yang membuat saya nyaris tidak berhenti tersenyum. Tapi sungguh disayangkan, pasar tradisional yang menjadi tujuan wisata kuliner di Kota Yogyakarta ini tidak menyediakan tempat sampah dan tampak kotor. Padahal jika ditata dengan lebih rapi dan bersih, tentu Pasar Ngasem akan semakin nyaman.