Proses & Perjalanan Widi S. Martodihardjo

“Seni adalah bagian dari hidup saya, seni adalah pekerjaan saya, hidup saya bergantung pada melukis dan kegiatan-kegiatan kesenian lainnya.”

Walaupun lahir dan besar di Yogyakarta, seniman yang akrab disapa Widi ini justru memilih untuk meninggalkan kota ini selepas SMA. Kala itu, ia memilih Bandung untuk mengenyam pendidikan Desain Komunikasi Visual (DKV) di Universitas Pasundan. “Aku ni wong Yogjo, wong Jowo, anak turun orang Yogjo. Kalo aku kuliah di sini, nggak seru gitu loh. Kira-kira seperti itulah yang ada di pikiran saya waktu itu. Saya memang menantang diri sendiri untuk keluar dari sini,” ujarnya membuka perbincangan ketika ditemui di studionya, Serambut Widi Artcation, yang berlokasi di Piyungan, Bantul.

Bandung bukanlah kota yang dipilih sembarang oleh Widi. Kebetulan banyak keluarganya yang menimba ilmu dan akhirnya menetap di sana. Selain merasa cukup kenal dengan kota Bandung, keluarganya juga sangat mendukung keputusan Widi.

Selama tinggal di Bandung, Widi memanfaatkan waktunya bukan hanya untuk menggali ilmu, tapi juga memperluas jaringan sosial. Kebetulan ia senang bersosialisasi, berorganisasi, dan juga bermain. Jadi semua terasa “klop”. Apalagi pada pertengahan masa kuliah, kampusnya membuka kesempatan kepada delapan mahasiwa untuk menjadi mahasiswa tamu selama dua tahun di STSI Bandung (sekarang menjadi ISBI atau Institut Seni Budaya Indonesia). Tentu saja kesempatan ini tidak ia abaikan, karena Widi yakin akan bisa membuat ceruk jejaring pertemanannya menjadi makin luas. Meski asik menggali dunia seni, Widi tetap menyelesaikan kuliahnya sebagai bentuk tanggung jawab dan kewajiban anak kepada orang tua.

“Ketika lulus (kuliah) saya bertaruh dengan teman-teman sesama DKV agar kita semua tidak perlu ambil ijazah dan langsung terjun kerja tanpa ijazah. Kebetulan di masa itu TV dan advertising agency lagi berkembang. Banyak teman-teman yang ingin ke Jakarta. Tapi saya tidak! Saya bilang ke teman-teman bahwa saya mau ke Bali. Padahal ke Bali saja saya belum pernah. But, I have my own journey. Saya kembali menantang diri sendiri apakah saya bisa,” paparnya sambil menyiapkan peralatan melukis.

Widi mengaku ada dua hal yang mendorong dirinya untuk ke Bali, yakni seni dan daerah wisata internasional. “Kalau mau jadi seniman tapi hanya jadi seniman saja, gak bisa go international, ya percuma! Begitu pikiran saya ketika itu. Dalam persepsi saya saat itu, Bali itu keren, asik untuk berkesenian dan juga daerah wisata yang sudah dikenal secara internasional. Belum terlintas di benak saya untuk kembali ke Jogja,” ujarnya.

Berbekal uang 400 ribu yang ia dapat dari mengerjakan finishing untuk kitchen set di workshop kakaknya di Jakarta, pada 2001 Widi berangkat ke Bali. Namun sebelum menuju Ubud, ayah yang sangat mendukungnya untuk menjadi seniman meninggal dunia. “Masih terngiang pesan masku. Katanya, ‘Kowe nek wes dadi orang, tetep nang Bali lho, ngelajutke langkahmu, kowe ora oleh mandeg.’ Pesan itu membulatkan tekad saya. Bekal saya saat itu hanya 400 ribu dikurangi tiket pesawat 141 ribu. Dengan sisa uang itulah saya harus bisa hidup di Bali,” paparnya mengenang masa lalu.

Setibanya di Bali, mimpi Widi tidak langsung terwujud walaupun ia terus berkarya. Berbagai pekerjaan ia lakukan demi bertahan hidup. Menurutnya, periode ini adalah tantangan terbesar sekaligus pengalaman berharga baginya.

“Saya memperjuangkan art on paper yang menurut banyak orang not saleable. Masih teringat komentar-komentar negatif banyak orang ketika melihat karya saya. Anehnya, dikasih komen negatif saya malah semakin semangat. Selain art on paper, saya juga bikin ilustrasi, anatomi, dan banyak lagi. Pokoknya apa saja. Bisa dikatakan itu adalah periode hidup saya yang terberat dan paling menyakitkan. Bisa berhari-hari saya gak makan. Kadang saya ngamen dan jadi pemulung. Tapi periode ini selalu menyenangkan untuk diceritakan kembali. Karena dari pengalaman itu saya tahu rasanya berjuang, ditolak, diejek, dan yang paling ironis adalah ra iso mangan,” ujarnya diiringi tawa sambil menggores kuas ke kanvas besar di hadapannya.

Dalam sebuah kesempatan yang tak direncanakan, ia bertemu seorang seniman senior yang menetap di Bali. Selain menasihatinya agar fokus pada pada satu hal saja, seniman itu menantang Widi untuk bisa menggelar pameran tunggal di galeri bertaraf internasional di Bali. Menurutnya itu adalah salah satu jalan yang harus ditempuh Widi untuk bisa menjadi seniman yang sukses. Ia juga menyarankan Widi untuk mengikuti Phillip Morris Art Award. Berbekal wejangan itu, Widi pun semakin fokus memperjuangkan karyanya yang berkonsep art on paper.

Silver lining dalam kehidupan Widi mulai terlihat sekitar tahun 2008. Ketika sedang berkunjung seorang diri untuk melihat pameran di Ganesha Gallery yang berlokasi di Four Seasons Jimbaran, ia bertegur sapa dengan direktur galeri. Widi memperkenalkan dirinya sebagai seniman art on paper. Siapa menyangka bahwa Widi kemudian diminta untuk mengirimkan proposal karya pameran. Tentu saja permintaan ini disambut dengan penuh semangat. Setelah beberapa lama menunggu, usai mengirimkan proposal, Widi akhirnya dihubungi oleh pihak galeri yang membawa berita baik: proposal karyanya diterima!

“Ini menjadi titik balik hidup saya, ketika karya-karya saya akan dipamerkan di galeri bertaraf internasional dengan kurator dari New York. Saat pameran berlangsung saya juga sempat diwawancarai oleh media dari dari Inggris. Wah, rasanya seperti mimpi mengingat achievement itu,” ujar Widi yang mengirimkan undangan pameran tunggal pertamanya secara pribadi kepada seniman senior yang telah memberinya wejangan sekaligus tantangan.

Usai pameran tunggal di Bali, nama Widi mulai dikenal. Muncul rasa bangga di hatinya karena berhasil mewujudkan impiannya sekaligus harapan sang ayah yang sangat ingin anaknya menjadi seniman. Sejak SMP Widi memang sudah menunjukkan minat dan bakat untuk menjadi seniman. Sang ayah yang merupakan artisan pembuat perhiasan, sangat bangga dengan impian anaknya. Tidak heran jika dunia seni sebenarnya sudah diperkenalkan oleh sang ayah kepada Widi sejak dulu. Dari ayahnya pula Widi memahami bahwa apabila kelak impiannya sebagai seniman bisa terwujud, yang paling penting dijaga adalah mencintai pekerjaan sepenuh hati dengan konsisten dan komitmen.

Kerja keras dan perjuangan Widi kembali berbuah manis ketika pada tahun 2010 ia berhasil menjadi finalis di ajang Philip Morris Art Award. Dari 4600 pendaftar, ia termasuk dalam 90 orang finalis terpilih. Sebuah privilege yang patut dibanggakan. “Saya yakin menjadi bagian dari Philips Morris Art Award adalah pintu gerbang emas bagi seniman. Dan menjadi finalis ajang ini adalah entry point saya untuk memasuki gerbang tersebut. Karena itulah saya kemudian melahirkan karya bertema “Pintu Gerbang Emas”. Setiap momen dalam hidup memang selalu saya jadikan sumber inspirasi berkarya,” paparnya santai.

Perjalanan hidup kemudian membawa Widi ke Kota Jakarta. Sambil residensi selama satu tahun di kediaman JJ Rizal, Widi mencoba menawarkan proposal pameran ke Bentara Budaya Jakarta. Ia sangat beruntung bahwa proposal tersebut diterima, sehingga pada tahun 2016 ia menggelar pameran tunggal di tempat prestisius tersebut.

Dari pameran tunggal inilah Widi kemudian bertemu dengan partner kerjanya. Menandai kerjasama di antara mereka, bersama partner kerjanya Widi melakukan perjalanan keliling Eropa di tahun 2018 dengan tujuan untuk bersama-sama menambah pengetahuan tentang galeri, management pameran, dan sebagainya. Sepulangnya dari Eropa, sekitar tahun 2019, Widi kembali menggelar pameran tunggal, tapi kali ini di kota kelahirannya, tepatnya di Bentara Budaya Yogyakarta. Mungkin karena belum terpanggil untuk pulang ke Yogya, seusai pameran ia kembali ke Bali.

“Tak lama setelah kembali ke Bali, pada tahun 2020 saya mengalami kejenuhan yang teramat sangat. Mungkin karena sudah lebih dari 17 tahun di sini. Lagi-lagi semesta mendukung keinginan saya. Ada saja yang membeli lukisan saya, sehingga saya punya cukup tabungan. Sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat untuk menjalankan great mission saya selanjutnya, yaitu kembali pulang ke tanah leluhur, kembali pulang ke Jogja. Saya ingin merawat makam ayah, berbagi ilmu, dan tetap menjalani kehidupan saya sebagai seniman. Saya juga kuliah S2 di ISI Jogja karena saya ingin menjadi seniman yang tidak hanya bisa berkarya, tapi juga kompeten, intelektual, berwacana, dan berkarakter. Ini mimpi besar saya,” ucapnya lugas.

Widi yang mengaku sangat mencintai Yogyakarta, kembali pulang dengan membawa misi dan janji suci kepada leluhur. Di usianya yang sudah lebih dari 50 tahun, menurutnya sekarang ia berada di waktu dan tempat yang tepat. “Now, I’m in the right time and in the right place. Dan semesta merestuinya. Sebagai pemikul tradisi Jawa, saya juga ingin menyuarakan hal ini ke dunia internasional. Karena itu saya serius meneliti tentang Budaya Jawa. Mungkin kelak saya akan meneliti hubungan antara saya, darah Jawa dalam tubuh saya, art on paper, serta lontar dan kitab-kitab Jawa,” ucapnya sambil memberi sapuan terakhir pada lukisan yang dibuat sepanjang wawancara berlangsung.

Sebagai seniman asli Yogyakarta yang justru meniti mimpinya di luar kota kelahirannya, Widi melihat bahwa Yogyakarta masih merupakan “kawah candradimuka” dalam dunia seni. Menurutnya banyak hal-hal luar biasa lahir dari ruang-ruang kecil namun gaungnya terdengar sampai manca negara. Ia juga berpesan kepada seniman muda yang tengah merintis karier agar berjuang jangan setengah-setengah. “Perlu konsisten dan komitmen penuh! Ini berat dan saya mengakuinya. Tapi berat itu akan hilang karena cinta. Berkaryalah dengan cinta, ikhlas, dan penuh passion. Ingatlah bahwa kata passion berasal dari Bahasa Latin patio, yang artinya pain. Jadi melakukan sesuatu yang merupakan passion itu pasti berat, karena ada pengorbanan dan “berdarah-darah”. Tapi percayalah bahwa value atas pengalaman yang didapat tidak akan pernah dapat dinilai dengan apapun. Itu justru akan menjadi pengalaman berharga yang diingat sepanjang masa,” pungkasnya menutup obrolan.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This error message is only visible to WordPress admins

Error: No feed found.

Please go to the Instagram Feed settings page to create a feed.