Gairah yang besar terhadap apapun yang kita dilakukan, bisa menjadi energi yang luar biasa untuk mengembangkan sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang bernilai, termasuk wisata berbasis alam dan budaya yang mengapresiasi kearifan lokal. Diakui atau tidak, itu tidak lagi penting. Karena yang utamanya adalah menjalankan dengan sepenuh hati agar bisa menebar energi positif.
Text by Debbie S. Suryawan
Nama Towilfiets sangat akrab di kalangan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta, terutama yang berasal dari Eropa. Diambil dari dari nama sang pemilik, Muntowil atau biasa disapa Towil, serta kata fiets, yang berarti sepeda dalam Bahasa Belanda, nama ini bahkan sudah menjadi brand yang kuat.
Towilfiets identik dengan wisata desa bersepeda onthel di Yogyakarta. Wisata sederhana namun sangat menarik. Tamu mancanegera yang tidak pernah sepi berkunjung ke rumah limasan yang nyaman di Dusun Bantarkulon sebagai lokasi titik awal wisata, peliputan di berbagai media cetak maupun elektronik, dan juga “jejak-jejak” yang ditinggal oleh tamu-tamu penting sekelas Ratu Hemas, Gusti Bendoro, dan Bapak Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, adalah buah atas jerih payah yang dilakukan oleh Towil. Tak mengherankan jika Towilfiets yang pertama kali diperkenalkan pada akhir tahun 2007, mampu bertahan sampai kini.
Namun di balik semua keberhasilan yang sudah diperoleh pria kelahiran 16 November 1973 ini ada perjalanan panjang yang inspiratif dan bisa membantu mengingatkan kita bahwa proses memang tidak pernah mengkhianati hasil.
Wong Boyolali “Pulang” ke Yogya
“Jauh sebelum ada di titik ini, saya ini hanya lulusan SMA yang datang ke Yogya dari Desa Ngrawoh, Boyolali, dengan satu niat: belajar dari banyak orang!” ujar Towil membuka perbincangan.

Saat itu orangtua Towil hanya mampu menyekolahkannya sampai SMP. Tapi ia tidak mau menyerah. “Mosok saya harus seperti kakak-kakak dan orangtua saya. Saya harus menjadi lebih baik agar bisa bermanfaat dan membantu keluarga. Begitu tekad saya dalam hati. Karena itu, sejak SMA saya sudah kerja untuk cari biaya sekolah.”
Sebelum hijrah ke Yogya, Towil sempat ikut pamannya yang tinggal di Bengkulu sekalian mencoba mendaftar kuliah di sana. “Jauh-jauh dari Ngrawoh ke Bengkulu, tinggal di rumah paklik untuk mendaftar kuliah, kok tidak diterima. Kebangetan ya? Nyoba lagi berikutnya, yo ndak diterima lagi. Ah, yo wis saya ke Yogya saja, walaupun saya tidak tahu di sana mau ngapain atau tinggal di mana. Pokoknya Ke Yogya saja,” paparnya sambil tertawa.

Bagi Towil, Yogya adalah kota wisata, kota budaya dan juga kota pendidikan. “Walaupun saya tidak mampu kuliah, saya merasa bisa mengenyam sesuatu di Yogya. Pikiran itu kuat sekali di dalam diri saya. Lagu Yogyakarta dari album KLA Project juga kuat melekat di hati. Jadilah wong Boyolali pulang ke Yogya,” ujarnya tergelak.
Belajar di Mana Saja
Pada awal di Yogya Towil ikut pamannya, Om Wahono, yang bekerja di AURI. Kakak pertama Towil juga di Yogya, berjualan mie ayam. Ia bahkan sempat ikut berjualan mie ayam dengan gerobak keliling seputar Janti. Setelah pernah mencoba menjadi sales screen komputer, Towil akhirnya diajak Om Wahono bekerja serabutan di AURI. Di sinilah Towil mendapat informasi bahwa ada sebuah restoran di sekitar Candi Prambanan yang membutuh tenaga kerja. Towil pikir ia akan bekerja di dapur, ternyata yang diperlukan ada waiter, pramusaji.

“Saya ini hanya punya tenaga dan kemauan. Saya tidak punya pengalaman dan saya tidak bisa bahasa asing. Ketika tahu saya akan menjadi waiter, rasanya bangga dan senang, pokoknya campur aduk. Jadi, saya benar-benar manfaatkan kesempatan emas itu.”

Selama 1,5 tahun menjadi waiter Towil selalu membawa kamus dan menghafalkan menu yang ada, sehingga kemampuan berbahasa asingnya kian baik. Sehingga ini sangat memotivasi dirinya. “Hla wong kuliah saya tidak mampu. Jadilah secara otodidak saya memanfaatkan apa yang ditawarkan pekerjaan untuk belajar,” tegasnya.
Handicraft dan Network Baru
Towil kemudian mendapat kesempatan bekerja sebagai penjaga drugstore Hotel Radisson Gejayan. Pada suatu hari, seorang buyer dari Korea melihat-lihat handicraft yang ada di sana. Towil lalu menawarkan buyer tersebut untuk berkenalan dengan temannya bekerja di OOA (Out of Asia), sebuah perusahaan yang memproduksi handicraft. Lucunya, buyer tersebut justru meminta Towil yang mengurus.

“Ini sesuatu yang baru buat saya. Jadi selama beberapa waktu saya kerja di hotel dari sore sampai dini hari, lalu di pagi hari saya sourcing handicraft. Sampai akhirnya saya punya cukup uang untuk menabung dan membantu keluarga. Ini sangat penting buat saya, karena sejak awal niat saya adalah harus berbuat sesuatu agar bisa membantu keluarga. Niat itulah yang menguatkan saya.”
Mengingat kutipan Paulo Coelho, “Saat kamu menginginkan sesuatu, maka seluruh alam semesta akan bersatu membantumu meraihnya”, hal itu sepertinya terjadi pada Towil. Karena bermula dari handicraft ia kemudian dipertemukan dengan rekan kerjanya dulu, Ema, yang bersama pasangannya memiliki perusahaan ekspor handicraft bernama Talaindo.

“Akhirnya saya bekerja di Talaindo dan selama di sana saya selalu difasilitasi. Hidup saya saat itu sangat nyaman, nyaman, nyaman, dan nyaman. Tapi menurut saya kenyaman itu bukan saya. Ternyata saya perlu bekerja dengan fighting spirit sesuai kemampuan diri.”
Asik Bersepeda Onthel
Pengalaman bekerja di Talaindo selama 3 tahun menguatkan tekad Towil untuk menjadi freelance buyer agent, sebuah pekerjaan dengan network yang luas namun sangat menyita waktu. Untuk mampu mengimbangi pekerjaannya yang stressful, ia mulai berpikir untuk memiliki hobi. “Yogya kan kota sepeda. Banyak sekali seniman dan budayawan yang mengoleksi sepeda onthel. Bahkan ada bengkel khusus untuk onthel juga. Nah, ini menarik buat saya,” ujarnya bersemangat.

Sebenarnya Towil sudah punya sepeda onthel merek Raleigh sejak tahun 2000. Namun sepeda itu dibeli oleh buyer-nya yang berasal dari Australia. Kemudian Towil membeli sepeda othel kedua, sekitar tahun 2003. “Sejak itulah saya tergila-gila pada sepeda onthel. Kemana-mana saya selalu sepedaan. Namun saat itu saya bersepeda untuk diri sendiri saja,” jelasnya.

Ada kisah menarik pada sekitar tahun 2006 tentang kegemaran Towil akan sepeda onthel. Pada suatu malam ia bersepeda ke Malioboro. Tanpa direncanakan, di sana ia berkenalan dengan dua pria dari Kediri yang banyak berbincang tentang sepeda onthel. Kepada mereka, Towil menginfokan bahwa ia memiliki buku Pit Onthel terbitan Bentara Budaya, buku yang ternyata sangat mereka cari.
“Singkat cerita, malam itu juga buku tersebut saya serahkan kepada mereka. Sambil menunjuk halaman-halaman buku, salah satu dari mereka mengatakan punya sepeda ini 10, yang ini 50, yang ini 60, yang ini 100, dan sebagainya. Jujur saja, saya bingung, mereka ini siapa sih? Sampai kemudian saya diberi kartu nama beliau, Amir Fatah namanya,” ujar Towil yang malam itu juga diundang oleh Amir Fatah untuk berkunjung ke Kediri dan bahkan dibekali Rp300ribu untuk ongkos.

Ternyata Amir Fatah adalah kolektor sepeda onthel kelas berat. Di rumahnya di Kediri, Towil melihat sendiri gudang khusus berisi ratusan sepeda onthel yang tertata rapi. Kunjungan itu ternyata sangat membekas di hati Towil dan membulatkan niatnya untuk membentuk komunitas. Akhirnya pada November 2006, Towil bersama teman-teman membentuk Podjok, Paguyuban Othel Djokdjakarta.

Sejak itu Towil juga bertekad untuk mengoleksi sepeda onthel namun bisa bermanfaat bagi banyak orang. Ia pun mulai berbisnis jual beli sepeda. “Prinsip saya: beli sepeda, jual, lalu tambah koleksi. Pokoknya koleksi (sepeda) saya harus terus bertambah,” urainya sambil tertawa.
Hobi yang Bermanfaat
Kebetulan beberapa sepeda onthel koleksi Towil sering dipakai untuk pemotretan pre-wedding. “Berarti sepeda itu punya daya tarik tersendiri serta bisa memberi sumbangsih rejeki,” papar pria yang kini mengoleksi sekitar 150 sepeda onthel dari berbagai merek, di antaranya Raleigh, Humber, Burgers, dan BSA.

Karena itulah Towil mulai berani menawarkan wisata bersepeda. Untuk pertama kalinya ia menjalankan wisata tersebut di Candi Sambisari dengan beberapa sepeda yang dipinjam dari travel agent. Dari sana ia kemudian bertemu dengan travel agent lain, di antaranya Karel van Bekom. Kepada Karel inilah Towil memperkenalkan konsep Wisata Desa, di mana wisatawan akan berkunjung ke berbagai desa dengan bersepeda onthel untuk melihat kearifan lokal yang ada di sana.

Akhirnya pada 16 November 2007, Wisata Desa masuk ke program tur wisata Indonesia. Seketika itu juga Towil meninggalkan bisnis handicraft agar bisa fokus ke Towilfiets. “Ini adalah hal baru yang tidak hanya menyenangkan tapi juga harus bisa berkembang dan berkelanjutan,” paparnya mengenang apa yang ia bangun belasan tahun lalu.
Program Wisata Desa bersepeda yang pada awalnya dijalankan di daerah Candi Sambisari kemudian ia pindahkan Sentolo dengan berbagai pertimbangan, yaitu tidak perlu sewa tempat dan kearifan lokal di sekitar Sentolo masih sangat kental.

“Selama 1 tahun saya menjemput tamu untuk dibawa ke Sentolo dan kemudian berkeliling dari desa ke desa dengan sepeda onthel. Semua saya kerjakan sendiri. Selanjutnya saya libatkan masyarakat setempat karena tamu sudah semakin banyak. Kebetulan istri saya pintar masak, jadi kami kemas program Wisata Desa menjadi satu paket termasuk makan siang dengan menu masakan rumah khas Yogya. Walau masih memandu tamu bersepeda onthel keliling desa, sekarang saya dibantu anak-anak muda yang tidak hanyabisa bersepeda tapi juga cas cis cus berbahasa Inggris.”

Ketika ditanya apa yang paling berkesan dari semua perjalanan yang sudah ia alami hingga sukses menjalankan Towilfiets selama 17 tahun, dengan santai Towil menjawab, “Kalau saya orang kaya, mungkin saya bisa langsung membeli 150 sepeda onthel. Tetapi karena saya tidak punya uang, saya benar-benar bisa menjiwai setiap sepeda yang saya beli. Ada gairah pada setiap hal yang saya lakukan, termasuk ketika saya mengoleksi sepeda, ketika saya bersepeda, dan ketika saya menjalankan program Wisata Desa. Kebetulan saya sendiri wong desa, jadi saya tahu betul kehidupan desa sekitar kami. Wisata Desa bersepeda onthel ini sebenarnya adalah sesuatu yang sederhana, tapi bisa menarik dan bahkan bermanfaat dan membantu menghidupi banyak orang. Itu nilai yang tidak bisa dihitung,” pungkasnya menutup perbincangan.

Towilfiets
Jalan Wates Km 15, Dusun Bantar Kulon, Banguncipto, Sentolo, Kulon Progo, DI Yogyakarta
FaceBook: https://www.facebook.com/towiljogja?mibextid=ZbWKwL
Instagram: https://www.instagram.com/towilfiets?igsh=MTM5dTAwMzU5ZW1ocw==
Biaya (bersepeda dan makan siang): Rp400rb/orang (lokal), Rp500rb/orang (asing)
Durasi: 2,5 – 3 jam.
Jarak total: 15 km (melewati 6-7 dusun sekitar Sentolo)
Jadwal: 08.00 – 11.00 dan 14.00 – 18.00

